SUMENEP – Pagi itu, suasana di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pondok Pesantren At-Taufiqiyah, Desa Aengbaja Raja, Kecamatan Bluto, Sumenep, terasa berbeda dari biasanya. Bukan karena ada upacara dengan barisan rapi atau pidato panjang untuk mengisi peringatan Hari Ibu, Senin, 22 Desember 2025. Yang hadir justru keheningan, pelukan, dan tangis yang tertahan.
Ratusan siswa MI At-Taufiqiyah duduk berhadapan dengan ibu mereka. Di tangan anak-anak itu, selembar surat sederhana—ditulis dengan ejaan yang belum sempurna, namun sarat makna. Isinya tentang rasa terima kasih, doa, dan ungkapan rasa sayang.
Saat surat-surat itu dibacakan, suasana berubah haru. Anak-anak memeluk ibu mereka, sebagian menangis, sebagian lain tersenyum sambil menyeka air mata. Bagi sebagian siswa, inilah momen pertama mereka menyampaikan perasaan yang selama ini hanya tersimpan di hati.
Keharuan semakin terasa ketika beberapa siswa membasuh kaki ibu mereka, lalu bersimpuh di hadapan sosok yang selama ini menjadi penopang hidup mereka. Tidak ada instruksi keras, tidak ada aba-aba. Semua mengalir pelan, nyaris sunyi, seolah setiap anak sedang berbincang secara pribadi dengan ibunya.
Kepala Sekolah MI At-Taufiqiyah, Abd. Khairi, mengatakan peringatan Hari Ibu dengan cara seperti ini telah menjadi tradisi tahunan di sekolah tersebut. Bagi pihak sekolah, Hari Ibu bukan sekadar seremoni, melainkan ruang belajar tentang empati, rasa syukur, dan penghormatan.
“Peran ibu sangat besar dalam mengantarkan kesuksesan masa depan anak, terutama dalam dunia pendidikan. Pada momentum ini, siswa juga menulis surat yang berisi pesan moral, ucapan Hari Ibu, hingga ungkapan ‘saya sayang ibu’. Ungkapan sederhana ini sangat berarti bagi para ibu,” ujar Abd. Khairi.
Ia berharap, pengalaman emosional seperti ini dapat tertanam dalam ingatan anak-anak. Bukan hanya sebagai kenangan Hari Ibu, tetapi sebagai pengingat bahwa pendidikan tidak semata soal angka dan nilai, melainkan juga tentang sikap, karakter, dan kesadaran akan jasa orang tua.
Di akhir kegiatan, halaman sekolah kembali ramai oleh tawa kecil dan langkah kaki anak-anak yang menggenggam tangan ibunya. Hari itu, pelajaran paling penting tidak tertulis di papan tulis, melainkan terpatri dalam hati: tentang cinta, bakti, dan pengorbanan yang sering kali baru disadari ketika air mata jatuh tanpa diminta. (Al/Red)









