PAMEKASAN — Gagasan Madura menjadi provinsi kembali mengemuka. Di tengah dinamika wacana yang tak kunjung padam itu, nama Prengki Wirananda muncul sebagai salah satu tokoh muda yang mencoba merapikan jejak panjang perjuangan tersebut.
Pada Kamis (4/12/2025), Prengki resmi meluncurkan buku perdananya berjudul “Merajut Mimpi, Madura Provinsi”, sebuah karya yang ia sebut sebagai dokumentasi sejarah sekaligus pengingat bahwa mimpi itu tidak pernah mati.
Di dalam bukunya, Prengki memotret perjalanan panjang para tokoh Madura, mulai dari ulama, aktivis, hingga akademisi, yang sejak 1990-an, memperjuangkan kemandirian Madura sebagai daerah otonomi baru. Gerakan itu ia hadirkan kembali dalam bentuk narasi yang terstruktur dan mudah diakses publik.
“Perjuangan Madura menjadi provinsi ini sudah berjalan puluhan tahun. Banyak tokoh, ulama, dan pemuda yang bergerak dalam senyap. Buku ini saya tulis agar sejarah itu tidak hilang, sekaligus menjadi penyemangat bagi generasi hari ini,” ujar Prengki di hadapan para undangan peluncuran buku.
Prengki dalam buku ini juga menelusuri berbagai faktor yang melatari munculnya gagasan Madura sebagai provinsi. Salah satunya adalah kegelisahan kolektif atas ketimpangan pembangunan yang, menurut banyak pihak, masih dirasakan masyarakat Madura hingga kini. Status Madura sebagai bagian dari Jawa Timur dianggap membuat aspirasi pembangunan daerah tidak selalu mendapatkan perhatian yang memadai.
Dia juga menguraikan potensi besar yang dimiliki Madura, mulai sektor pertanian, kelautan, migas, hingga kekuatan sumber daya manusia. Menurutnya, potensi itu belum tersentuh secara optimal. Prengki percaya, dengan tata kelola yang lebih dekat dengan kebutuhan lokal, Madura bisa melompat lebih cepat dan lebih kuat.
“Kalau Madura berdiri sebagai provinsi sendiri, saya yakin manfaatnya jauh lebih besar. Akses pembangunan akan lebih cepat, kebijakan lebih berpihak pada kebutuhan lokal, dan kesejahteraan masyarakat bisa lebih merata,” katanya.
Bagi Prengki, buku ini bukan hanya seruan, tapi juga kritik. Kritik terhadap lambannya pembangunan, terhadap minimnya perhatian kebijakan, dan terhadap hilangnya kesadaran generasi muda akan sejarah perjuangan daerahnya sendiri. Karena itu, buku ini ia tujukan untuk membangunkan kembali ghirah kolektif—sebuah kesadaran bersama bahwa Madura pernah dan masih memiliki mimpi besar.
“Saya ingin anak-anak muda Madura tahu bahwa mimpi ini pernah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Tugas kita sekarang adalah melanjutkan, dengan cara yang lebih cerdas dan terorganisir,” ujarnya.
Namun Prengki tidak menutup mata terhadap tantangan. Dari politik hingga regulasi, dari kesiapan administratif hingga kapasitas fiskal, jalan menuju provinsi baru menurutnya tidak pernah sederhana. Meski begitu, ia tetap optimistis.
“Mungkin tidak hari ini atau besok, tetapi saya yakin Madura akan sampai pada titik itu. Buku ini hanya satu ikhtiar kecil untuk merajut kembali mimpi besar itu,” tutupnya. (*)









