SELAKSA – Ramadan bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga. Ia lebih dari itu: sebuah ruang untuk membersihkan hati dan menajamkan pikiran.
Di bulan ini, umat Islam diajak untuk menekan ego, meredam amarah, dan menumbuhkan empati. Ramadan, pada hakikatnya, adalah proses kembali kepada fitrah kemanusiaan sekaligus kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri, bukan sekadar menggugurkan kewajiban ibadah.
Ada pesan mendalam di balik puasa: menahan bukan hanya soal perut, tapi juga tentang mengekang hasrat-hasrat destruktif yang kerap menguasai manusia.
Dalam skala yang lebih luas, Ramadan seharusnya juga menjadi momentum bagi pejabat publik dan pemangku kepentingan untuk bercermin. Ramadan mengajarkan nilai-nilai kejujuran, ketulusan, dan kepedulian sosial—tiga prinsip yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik.
Jika puasa mengajarkan kesabaran, maka mestinya tak ada ruang bagi pemimpin yang tergesa-gesa mengambil keputusan tanpa pertimbangan matang. Jika Ramadan menumbuhkan kepekaan sosial, maka tak seharusnya ada kesenjangan yang dibiarkan menganga.
Pada akhirnya, Ramadan adalah ujian. Bukan hanya bagi individu yang menjalankannya, tetapi juga bagi masyarakat dan para pemimpinnya.
Pertanyaannya, apakah setelah Ramadan berlalu, nilai-nilai yang dikandungnya akan tetap melekat, atau sekadar menjadi ritual tahunan tanpa makna? Ramadan, seharusnya, bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga soal menajamkan nurani. (*)