SUMENEP (Selaksa) — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kangean kembali unjuk rasa di depan kantor Pemkab Sumenep, Rabu, 25 Juni 2025.
Membawa poster-poster bernada protes, mereka meminta agar survei seismik migas yang dilakukan Kangean Energy Indonesia (KEI) di wilayah perairan Pulau Kangean dihentikan!
Aksi ini bukan yang pertama. Beberapa waktu lalu mereka juga telah melakukan hal yang sama. Mereka khawatir kegiatan survie seismik yang dilakukan KEI hanya akan merusak ruang hidup masyarakat lokal.
“Ekosistem laut Kangean sedang dipertaruhkan,” kata Ahmad Faiq Hasan, koordinator aksi dari Gerakan Mahasiswa Kangean.
Menurutnya, kajian akademik menunjukkan bahwa aktivitas survei seismik dapat memicu gangguan terhadap habitat biota laut dan mengancam keberlangsungan nelayan tradisional.
“Kami tidak ingin pembangunan yang justru meminggirkan masyarakatnya sendiri,” ujarnya lantang.
Tak hanya itu, Faiq juga menyinggung minimnya kontribusi perusahaan migas tersebut terhadap pembangunan di Pulau Kangean.
Menurutnya, meskipun KEI telah lama beroperasi di wilayah tersebut, tidak ada kemajuan signifikan yang dirasakan masyarakat, baik dalam hal infrastruktur, kesehatan, maupun kesejahteraan.
“Buktinya, jalan tetap banyak rusak. Di Kangean juga tidak ada rumah sakit yang layak bagi masyarakat. Warga yang sakit tetap banyak yang harus dibawa ke daratan. Butuh waktu belasan jam, dan itu nyawa taruhannya,” katanya.
Menanggapi protes mahasiswa, Pemerintah Kabupaten Sumenep memilih bersikap hati-hati. Kepala Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam Sekretariat Kabupaten, Dadang Dedy Iskandar, menyebut kewenangan soal migas berada di tangan pemerintah pusat.
Menurut dia, Pemkab Sumenep tidak punya kewenangan untuk menghentikan kegiatan survei seismik seperti diinginkan para mahasiswa.
“Pemerintah daerah sebatas memfasilitasi. Kami tidak punya kewenangan untuk menghentikan atau menyetujui program tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya, Manajemen KEI menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasional dijalankan di bawah pengendalian dan pengawasan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai perwakilan pemerintah.
“Seluruh aktivitas operasi KEI dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di bawah pengawasan ketat pemerintah dan pemangku kepentingan nasional dan daerah, serta dimonitor secara berkala untuk memastikan perlindungan lingkungan, kepatuhan terhadap peraturan, keamanan, dan keberlanjutan operasi,” tulis pernyataan resmi itu.
KEI mengklaim telah mengantongi sejumlah izin dan sertifikasi, termasuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) yang menjadi dasar hukum pemanfaatan ruang laut di luar kawasan konservasi. Izin tersebut disebutkan sesuai dengan Pasal 23 UU PWP3K yang mengatur aktivitas migas di wilayah pulau kecil.
Selain itu, KEI juga telah dua kali berturut-turut (2023–2024) memperoleh peringkat Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang menunjukkan bahwa perusahaan telah melampaui standar kepatuhan lingkungan.
“Kami telah menjalankan sistem manajemen lingkungan berstandar ISO 14001 sejak 2001 dan terus mempertahankan sertifikasi ini. Monitoring lingkungan dilakukan rutin bersama instansi dan akademisi kredibel,” lanjut pernyataan itu.
Selebihnya, KEI juga mengklaim aktif dalam program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dengan melibatkan warga lokal, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. (Al/Red)