JAKARTA (Selaksa) — Ketua DPP PDI Perjuangan, MH Said Abdullah, menilai arah kebijakan pertahanan yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto tetap berpijak pada prinsip pertahanan semesta yang digagas Jenderal AH Nasution.
Said menilai, doktrin yang melibatkan seluruh elemen bangsa dalam sistem pertahanan itu masih relevan di tengah dinamika ancaman global yang semakin kompleks.
“Sifat dari sistem pertahanan semesta melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional dalam membangun pertahanan. TNI dan Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan utama, yang ditopang oleh partisipasi aktif rakyat terlatih dalam bela negara,” ujar Said dalam keterangannya, Senin, 6 Oktober 2025.
Said menjelaskan, bentuk perang di masa kini tidak lagi hanya bersifat konvensional. Selain perang fisik, ancaman juga datang dalam bentuk perang politik, ekonomi, budaya, dan siber. Dalam konteks itu, keterlibatan masyarakat dan kalangan profesional menjadi penting untuk memperkuat kapasitas pertahanan nasional.
“Dunia kini tidak hanya mengarah pada perang konvensional, tetapi juga ada perang politik, ekonomi, budaya dan siber. Dalam perang nonkonvensional, TNI dan Polri tentu ada keterbatasan. Makanya, diperlukan dukungan rakyat terlatih, kaum profesional yang ahli di bidangnya masing-masing, terintegrasi dengan kekuatan TNI dan Polri,” paparnya.
Meski begitu, lanjut Said, kekuatan pertahanan konvensional tetap dibutuhkan. Karena itu, konsep Minimum Essential Force (MEF) menjadi ukuran penting untuk memastikan kemampuan dasar pertahanan nasional terpenuhi.
“Walaupun medan perang mutakhir sudah multifront, tidak serta merta kekuatan pertahanan konvensional tidak diperlukan,” kata Said.
Dia lalu menjelaskan, bahwa pemenuhan MEF TNI memerlukan dukungan organisasi, anggaran, pengembangan industri pertahanan, dan peningkatan profesionalitas prajurit.
“Dari sisi organisasi, sejak menjadi Menteri Pertahanan, Presiden Prabowo telah membentuk enam Komando Daerah Militer baru, 14 Komando Daerah Angkatan Laut, tiga Komando Daerah Angkatan Udara, satu Komando Operasi Udara, enam grup Komando Pasukan Khusus,” paparnya.
Kemudian, sambung dia, “20 Brigade Teritorial Pembangunan, satu Brigade Infanteri Marinir, satu Resimen Korps Pasukan Gerak Cepat, 100 Batalion Teritorial, pembangunan lima Batalion Infanteri Marinir, serta lima batalion Komando Korps Pasukan Gerak Cepat.”
Said menilai, kemandirian industri pertahanan nasional menjadi faktor penting lain yang harus diperkuat. Indonesia, kata dia, telah memiliki sejumlah perusahaan strategis yang berperan besar dalam penyediaan alat utama sistem senjata (alutsista), seperti PT PAL dan PT Pindad.
“Indonesia telah memiliki PT PAL yang mampu membuat kapal perang. Kemudian, PT Pindad yang memproduksi tank, senapan tempur, dan arteleri berat lainnya,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia juga menggandeng Korea Selatan dalam pengembangan pesawat tempur generasi 4.5, KAI KF-21 Boramae. “Intinya, industri pertahanan nasional kita perlukan untuk membangun kemandirian alat pertahanan nasional,” tegasnya lagi.
Sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said memastikan pihaknya selalu memberikan dukungan untuk memperkuat anggaran pertahanan. Namun, ia mengakui alokasi anggaran Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara dengan kekuatan militer besar.
“Defend Budget Rank 2025 yang dirilis oleh Global Firepower menempatkan Indonesia di urutan 29, di bawah Singapura di urutan 26. Tentu ini belum ideal mendukung MEF, karena keterbatasan fiskal kita. Ke depan kita perkuat kebutuhan anggaran pertahanan, sejalan dengan upaya penyehatan fiskal,” katanya.
Said menutup keterangannya dengan menegaskan bahwa profesionalitas prajurit TNI adalah modal utama dalam membangun pertahanan nasional yang tangguh. Profesionalitas itu mencakup netralitas dari politik praktis dan kompetensi tempur yang mumpuni.
“TNI dibangun dengan merit sistem yang ketat, prestasi menjadi acuan kenaikan pangkat. Bravo, Dirgahayu TNI ke-80 tahun. Jadilah patriot bangsa gagah berani,” ujar Said. (*/Red)